Minggu, 23 November 2014

Tanda-tanda Orang yang Berbohong

1.            Argumen
Pembohong lebih sulit menceritakan hal-hal mendetil dalam argumennya. Seperti deskripsi orang, tempat, tindakan peristiwa, dan waktu kejadian. Dia lebih mendeskiripsikan sesuatu secara umum dengan mengabaikan hal-hal yang sifatnya mendetil. Ini dikarenakan, si pembohong lebih sadar dalam berargumen. Dia akan mengontrol setiap argumennya untuk mengantisipasi kesalahan yang mungkin akan timbul dari argumen yang keluar. Sehingga, untuk menjelaskan detil sesuatu, pembohong lebih berhati-hati dan akan mulai bertanya kepada diri sendiri, “apakah benar yang aku ucapkan?”.
Selain melihat seberapa rinci argumennya, pembohong juga sering melakukan pengulangan kata atau kalimat. Lihat pula bagaimana konsistensi dan koherensi tiap argumen. Pembohong akan lebih sulit dalam berargumen secara konologis, menggunakan logika berpikir yang runtut.

2. Ekspresi Wajah
Pandangan Freud ini, mendasari Paul Ekman dalam mengonsepsi teorinya tentang mikro-ekspresi. Ketika seseorang sedang berbohong, ada beberapa jenis reaksi muncul pada wajah yang menandakan kebohongan seseorang. Oleh karena pembohong menahan kebenarannya, reaksi lain muncul dalam bentuk mikro-ekspresi. Ekspresi yang sangat singkat, dan kurang jelas terlihat.
Ekpresi kebohongan ini, disebutkan oleh DePaulo (2003) dalam beberapa bentuk. Diantaranya ialah saat seseorang mengangkat dagunya, atau menekan bibirnya ke dalam, tanda bahwa dirinya sedang menahan sesuatu. Bisa juga dengan memperhatikan pupil mata yang akan melebar saat seseorang sedang berbohong. Untuk yang terakhir ini, didasari oleh pandangan Zuckerman yang mengatakan gairah muncul ketika berbohong.
3. Gerak tubuh
Meski Ekman telah merumuskan teori mikro-ekspresi, di tahun sebelumnya (1969) dia bersama rekannya, Friesen, telah memiliki hipotesis bahwa tubuh memiliki lebih banyak isyarat daripada wajah. Hipotesis ini dibuktikan kembali oleh Bond dan DePaulo (2006), dengan media video. Mereka menyediakan tiga jenis video yang menampilkan wajah saja, tubuh saja, serta keduanya. Dari penelitian tersebut, isyarat kebohongan lebih banyak didapat dari video nomor dua dan tiga (tubuh saja dan keduanya) daripada nomor satu (wajah saja).
Dengan demikian, hipotesis Ekman dan Friesen teruji, tubuh memiliki isyarat kebohongan yang lebih banyak. Ini dapat dilihat saat seseorang berbohong, dia merasa tidak nyaman dengan duduknya, sering berubah posisi duduk, menggerakan tangan dan jari-jarinya, menggoyang-goyangkan kaki, dan lain-lain. Ketidaknyamanan ini adalah tanda kecemasan, perasaan takut bila nantinya dia akan ketahuan sedang berbohong.
4. Respon/Tanggapan
Untuk mendeteksi kebohongan lawan bicara kamu, bisa juga kamu lihat dari spontanitas lawan bicara dalam menanggapi pertanyaan atau argumen yang kamu berikan. Orang yang mengatakan kebenaran, akan merespon lebih spontan daripada yang berbohong. Karena, orang jujur memiliki dasar lebih jelas dibandingkan dengan orang bohong. Orang bohong, perlu memroses otaknya lebih keras (artinya membutuhkan waktu lebih lama) untuk menciptakan sebuah argumen demi kesuksesannya dalam berbohong (membuat lawan bicara percaya).
5. Merasa Tegang
Lagi-lagi, pembohong tidak akan luput dari perasaan berbohong. Cemas dan takut ketahuan, nantinya akan membuat seseorang merasakan ketegangan. Ketika ketegangan meningkat, dampak yang akan ditimbulkan dari ketegangan seseorang yang sedang berbohong, bisa berupa intonasi dan frekuensi suara meningkat. Bisa juga, akibat ketegangan tersebut, seseorang yang sedang berbohong mengurangi kontak mata dengan lawan bicaranya.
Perlu digarisbawahi, Ekman , De Paulo , Frank , Mann , O’Sullivan , Vrij berkata tidak ada perilaku tunggal indikasi penipuan. Artinya, setiap perilaku tidak dapat berdiri sendiri tanpa dibarengi dengan perilaku lain. Misal, lawan bicara kamu berulang kali mengubah posisi duduknya, bukan berarti dia sedang berbohong. Bisa jadi ketidaknyamanannya didasari oleh faktor eksternal, misal tempat, pengawasan orang lain, keintiman dengan lawan bicara, dan sebagainya.
Oleh karena itu, ketika kamu melihat ada seseorang yang menunjukan satu isyarat kebohongan, bukan berarti orang tersebut sedang berbohong. Perlu analisis lebih lanjut dengan mengasosiasikan satu isyarat dengan isyarat lain, demi mendapatkan hasil yang lebih akurat.
Akhirnya, untuk mengetahui apakah seseorang berbohong atau tidak, dibutuhkan kemampuan yang lebih. Kamu harus benar-benar memutar otak untuk merinci pertimbangan-pertimbangan yang dapat memengaruhi akurasi penilaian kamu terhadap kebohongan orang lain. Memang sulit, tapi bukan tidak mungkin. Pada artikel selanjutnya penulis akan jelaskan bagaimana cara untuk meningkatkan kemampuan ini

Sumber yang dipakai:
Bond, C. F., & DePaulo, B. M. (2006). Accuracy of Deception Judgement. Personality and Social Psychology Review , 10, 214-234.
DePaulo, B. M., Malone, B. E., Lindsay, J. J., Muhlenbruck, L., Charlton, K., & Cooper, H. (2003). Cues to Deception. Psychological Bulletin , 129, 74-118.
Navaro, J. (2012, Maret 15). The Truth About Lie Detection. Dipetik Desember 31, 2013, dari Psychology Today: http://www.psychologytoday.com/blog/spycatcher/201203/the-truth-about-lie-detection


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yang baik ya