Rabu, 04 April 2018

CERPEN


Hakuna Matata
Oleh: Lutfita Vionna A. G.

Kokok ayam yang berasal dari pekarangan rumah cukup untuk memecah kesunyian, suaranya sampai ke telingaku yang masih saja menggeliat malas di atas tempat tidur. Selang beberapa menit, bunyi tangga yang berderit menandakan bunda menuju ke lantai atas, lantai kamarku. Bunda memang selalu mengetuk pelan pintu kamarku untuk memastikan aku telah bangun, lalu jika aku sudah menyahut dengan suara “Hmm,” maka beliau akan kembali lagi ke dapur untuk memasak sarapan. Kebiasaan seperti itu telah berlangsung dari aku masih kecil hingga diriku yang sudah menginjak kelas 3 SMA seperti sekarang.

Aku yang berjuang mengumpulkan nyawa dan akhirnya bangkit, berjalan pelan ke arah jendela lalu menyingkap selambunya. Butuh beberapa saat supaya kesadaranku kembali sepenuhnya hingga akhirnya aku membuka jendela dan memandang ke arah luar seperti biasa. Semburat matahari belum terlalu jelas, agaknya ia malu menampakkan dirinya dan masih bersembunyi di balik arakan awan tebal. Cuaca yang cocok untuk melanjutkan tidur. Kalau saja pagi ini aku bisa memilih, aku pasti akan memilih untuk tetap bergumul dengan selimut hingga nanti bulan telah kembali menggantikan tugas matahari. Bukan karena apa-apa, melainkan disebabkan oleh jadwal pengumuman nilai ujian yang terus membebani pikiranku selama seminggu ini. Aku memang bukan anak yang pandai, bukan pula anak yang memprioritaskan nilai di atas segalanya. Namun permintaan ayah seminggu yang lalu supaya aku bisa masuk universitas terkemuka dan melanjutkan jejaknya sungguh sangat membuatku khawatir. Baru kali ini ayah memintaku, baru pertama ini beliau menginginkan sesuatu dariku. Jika aku tak bisa memberikan yang terbaik, entahlah anak macam apa aku ini.
Di tengah lamunanku yang terus menjadi, suara pintu kamar yang terbuka membuatku menoleh. Ternyata bunda memutuskan untuk kembali lagi ke lantai atas.
“Aduh Ra, kamu belum mandi? Nanti bisa telat, ini sudah jam enam lebih” tegur bunda begitu melangkah masuk.
“Eh, iya ini aku mau mandi kok, Bun,” jawabku dengan tergagap seraya menyambar handuk yang terletak di dekat pintu kamar mandiku.
“Yasudah, setelah mandi langsung turun ya, sarapannya ada di ruang makan,” kata bunda sambil keluar dari kamarku.
Setengah jam kemudian aku telah siap dengan seragam sekolahku. Seperti gadis lain, aku juga menyempatkan mematut diri di depan kaca. Di saat yang bersamaan, sebuah suara dari belakang punggung mengagetkanku.
“Ra, kamu lama banget sih. Aku udah nungguin daritadi.”
Mendengar suara tersebut, refleks aku menolehkan kepalaku ke arah pintu. Ternyata sahabatku Elena sudah berdiri dengan tak sabar di sana. “Loh, tumben udah di sini. Ini bukannya masih pagi banget, El?” sahutku dengan cuek lalu bergegas mengambil tas di atas meja belajar.
“Untuk informasi aja ya, aku udah nunggu kamu selama sepuluh menit, Ra. Masih mau bilang aku kepagian? Kamu kenapa sih, jadi banyak nggak fokusnya akhir-akhir ini.”
“Masa sih? Maaf deh, mungkin aku lagi kurang minum Aqua,” kataku asal. “Yaudah ayo turun sekarang, nanti kita bisa beneran telat. Hari ini kan ada pengumuman hasil ujian.”
“Sierra, aku jadi sahabat kamu udah sepuluh tahun. Mana mungkin aku nggak bisa tahu kalau kamu lagi bohong sekarang? Udah ngaku aja, sebenarnya ada apa? Masih ada lima belas menit kok sebelum kita benar-benar telat.”
“Aku bohong? Mana pernah sih, El? Jangan ngarang,” sahutku sekenanya. Kali ini jawabanku bersamaan dengan kakiku yang siap melangkah menuju keluar. Entah mengapa aku masih tidak ingin menceritakan mengenai kekhawatiranku itu kepada siapapun. Aku hanya ingin memendamnya sendiri, dan jika memang bisa aku ingin menyelesaikannya sendiri. Entah bagaimana caranya.
Namun bukannya mengalah dan mengikutiku keluar kamar, Elena malah menahanku dengan tangannya. Saat itu juga dia dengan spontan mengatakan hal yang membuatku tertegun, “Ra, jangan sekali-kali kamu silau oleh lampu. Jangan pula kamu nggak bisa bedain mana pemandangan yang berkabut dan kaca yang bening di depan kamu.”
Mendengarnya aku langsung terpaku. Entah Elena mengatakannya dengan maksud apa namun kalimat itu sudah cukup membuat ulu hatiku nyeri karena memikirkannya.
Hingga sepersekian detik berikutnya aku hanya membisu dan tidak bergerak dari tempatku berdiri, tiba-tiba Elena menyadarkanku lagi dengan menepuk bahuku, “Lah, dinasehatin malah ngelamun. Kamu ini gimana sih, Ra?”
“Eh maaf, aku kurang konsen. Lagipula kamu sok bijak banget ngasih kata-kata mutiara,” jawabku beralasan.
“Ya kamu kan tahu sendiri. Aku ini remaja yang sudah matang sebelum usia melenggang.” Elena menjawab dengan santai, kemudian ikut melangkahkan kaki keluar kamar bersamaku.
Saat sudah sampai di lantai bawah, bunda telah berdiri menunggu di depan pintu dengan dua buah bekal di tangannya. “Kalian selalu saja. Bukannya cepat turun dan sarapan, malah ngobrol di kamar. Bunda bawakan bekal ya, harus dimakan,” ujar beliau seraya menyerahkan dua kotak makan berukuran sedang padaku dan Elena.
Elena menerimanya dengan tersenyum lebar, kemudian berkata dengan nada khasnya yang manja, “Makasih banyak ya, Tante. Tahu aja kalau aku belum sarapan.”
Bunda hanya tersenyum menanggapinya. Kemudian beliau memandangku sambil bertanya memastikan, “Kamu kenapa, Ra? Sakit? Kok murung terus wajahnya?”
Belum sempat aku mengeluarkan suara dan menjawab, Elena sudah lebih dulu mengatakan opininya mengenai kondisiku pagi ini. “Mungkin Ra lagi capek. Atau mungkin Ra malas masuk sekolah. Yang jelas Ra daritadi ngelamun terus, Tan,” lapornya pada bundaku dengan sangat meyakinkan.
“Benar itu, Ra? Kamu nggak mau cerita ke bunda atau Elena dulu?” tanya bunda lagi memastikan untuk kedua kali.
“Aku baik kok, Bun. Elena aja yang suka mendramatisir keadaan. Aku sama El berangkat dulu ya, Bun. Ini hampir jam tujuh, nanti kita berdua bisa telat,” kataku kemudian, berusaha mengakhiri beragam pertanyaan sebelum semakin menjadi.
“Yasudah,” ujar bunda sambil mengelus kepalaku, “Kalian berdua hati-hati di jalan. Kalau sudah waktunya pulang, jangan mampir main kemana-mana lagi ya.”
“Iya, Bun,” sahutku dengan mengangguk lalu mencium tangannya.
“Kami berangkat dulu ya, Tante” timpal Elena seraya ikut mencium tangan bunda dan mengikutiku keluar rumah.
Aku dan Elena kemudian berjalan menuju sekolah. Kami menyusuri jalan-jalan yang di kiri dan kanannya masih banyak terdapat pohon dan tanaman bunga yang sengaja dipelihara sebagai penghias. Bahkan di beberapa sudut ada pula pohon beringin yang mungkin sudah berusia puluhan tahun dan masih berdiri dengan kokohnya diantara bangunan-bangunan. Kota tempatku tinggal memang bukan kota metropolitan. Jarak dari rumah ke sekolah pun tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan jalan kaki atau bersepeda tanpa harus naik angkot maupun angkutan umum lain.
Di tengah perjalanan, kata-kata Elena saat di kamarku tadi masih saja terngiang di telingaku. Entah mengapa sulit sekali melupakan setiap huruf yang ia telah utarakan. Aku yang masih saja penasaran dengan alasannya mengatakan hal tersebut, akhirnya memberanikan diri bertanya, “El, maksud kata-kata kamu tadi apa?”
Elena yang fokus dengan jalan di samping kirinya, secara otomatis menolehkan pandangan kepadaku. “Kata-kata yang mana?” sahutnya singkat.
Aku menepuk jidat. Sungguh, di saat aku ingin serius seperti ini, sahabatku itu malah membuatku merasa geram. Namun aku masih bisa menahan rasa gemas dan geramku itu dan akhirnya mulai bertanya lagi dengan jelas, “Tadi, waktu kamu bilang aku harus bisa bedain mana kaca yang bening dan mana pemandangan yang berkabut. Setelah aku pikir kamu pasti punya alasan bicara seperti itu.”
“Oh yang itu,” serunya dengan sedikit melengking. “Aku kira kamu nggak dengerin nasehatku seperti biasanya, eh nggak tahunya kali ini malah kamu pikirin.”
Aku tertawa beberapa saat mendengar jawabannya. Jika ditinjau lagi sahabatku yang satu ini memang sering sekali mengatakan hal-hal tidak masuk akal, dan aku pasti hanya menganggapnya angin lalu. Tapi tidak tahu kenapa, beda dengan kata-katanya tadi di depan pintu kamarku.
“Kok malah ketawa?” protesnya sambil sedikit mendorongku ke samping. “Sebenernya aku nggak punya alasan apa-apa sih ngomong seperti itu. Tapi karena aku lihat kamu terus-terusan ngelamun dan memikirkan sesuatu yang kayaknya berat banget, akhirnya keluar deh kalimat yang tadi”
“Emang kelihatan ya kalau aku lagi punya masalah?” tanyaku memastikan.
“Aku kan udah jadi sahabatmu dari dulu, jadi ya kelihatan lah meskipun kamu nggak mau cerita.”
“Bukannya nggak mau cerita, tapi emang lagi bimbang aja,” jawabku mencari pembelaan.
“Ra, kamu itu terlalu pemikir jadi orang. Hal yang seharusnya sederhana dan bisa diselesaikan dengan gampang, selalu kamu bawa berat. Akhirnya malah kamu sendiri yang rugi,” ujar El kepadaku. Kali ini nada suaranya seperti seorang guru yang menasehati muridnya. Namun tak tahu kenapa aku menurut saja mendengarkannya.
“Jangan terlalu khawatir sama apapun. Inget, semua udah ada yang ngatur. Kalau kamu terlalu khawatir dan berpikir negatif, akibatnya kamu akan salah pilih. Seperti kata-kataku tadi. Jangan sampai kamu salah menentukan jalan hidup karena kamu terlalu khawatir sama hasilnya. Yang kelihatannya baik, belum tentu akan cocok buat kamu. Mirip dengan kaca, kelihatannya aja bening dan bersih, eh ternyata malah bisa buat kamu kebentur. Dan juga yang kelihatannya buruk, belum tentu akan buat kamu kecewa. Sama seperti pemandangan yang berkabut, awalnya emang absurd, nggak jelas, tapi setelah kamu melewati semua itu kamu akan ketemu sama pemandangan yang terang dan jelas kan? Mending mana dibanding kebentur kaca tadi?”  tuturnya dengan panjang lebar.
Aku hanya mengangguk menurut. Jika dipikir memang benar apa yang dikatakannya. Terlalu mengkhawatirkan segala sesuatu malah akan membuatku salah menentukan pilihan. Kelihatannya hal tersebut juga sejalan dengan pengumuman hasil ujian dan permintaan ayahku. Kalau aku terlalu khawatir dan bimbang karenanya, bisa jadi aku akan salah menentukan jalan hidupku.
“Terus kalau seumpama aku khawatirnya sama nilai ujian nanti, gimana solusinya?” tanyaku padanya.
“Jangan terlalu khawatir dan menuntut. Seandainya hasilnya baik, kamu harus bersyukur, karena mungkin itu pertanda kalau pemandangan berkabut udah selesai kamu lewatin selama ini. Dan kalau seandainya pun hasilnya kurang memuaskan, jangan cepat putus asa, siapa tahu ternyata itu masih sebagian dari rangkaian pemandangan berkabut lain yang harus kamu lewatin.”
“Tapi, aku takut mengecewakan banyak orang, El,” kataku tiba-tiba. Entah angin darimana yang akhirnya membuatku mengatakan hal itu pada Elena.
“Sierra, dengerin aku ya,” kata Elena menjawabku. Kali ini ia menaruh kedua tangannya di pipiku dan mengarahkan pandanganku tepat ke matanya, “Hidup itu nggak melulu benar adanya. Ada kalanya kita mengecewakan orang. Ada kalanya pula kita membuat sedih hati orang. Tapi, kita manusia kan? Dan semua itu menurutku masih proses yang wajar dari serentetan pengalaman hidup. Orang yang sayang sama kamu, entah itu orang tua kamu sendiri atau mungkin sahabat kamu, harusnya bisa menerima kamu apa adanya, apapun yang pernah kamu lakukan. Bukannya menghakimi kamu, semestinya mereka akan berusaha supaya kamu mau memperbaiki diri lagi menjadi lebih baik.”
“Meskipun nantinya aku buat mereka malu karena hasil ujianku yang jelek? Atau meskipun nanti aku buat mereka menyesal punya anak sepertiku yang bahkan nggak bisa masuk universitas ternama?” tanyaku lagi dengan suara yang sudah hampir tidak terdengar. Kurasakan mataku sudah mulai menghangat, siap menumpahkan cairannya. Mungkin wajahku sekarang sudah terlihat sangat memelas di depan Elena.
Mendengar pertanyaanku itu, Elena dengan tegas langsung menggeleng. “Nggak ada orang tua yang menyesal sama kondisi anaknya, Ra.”
Tapi, ayahku sendiri yang minta aku buat nerusin pendidikan sesuai jejaknya, El. Kalau aku nggak mampu, dengan cara apa lagi aku bisa menunjukkan kasih sayangku ke orang tuaku dan membuat mereka bangga?”
“Cara membanggakan orang tua itu nggak cuma lewat pendidikan, Ra. Kamu bisa membuat hati mereka senang dengan hal lain, yang meskipun kelihatannya sederhana tapi sebenarnya sangat berharga. Lagipula, sebelum kamu punya pikiran seperti itu, coba kamu ingat lagi ke belakang saat ayah kamu nyuruh kamu nerusin jejaknya. Apa beliau memaksa kamu? Nggak, kan? Apa beliau mendikte kamu supaya kamu melakukan kegiatan A, atau tindakan B, atau mungkin langkah C, dan seterusnya? Aku yakin sepenuhnya beliau waktu itu hanya menyarankan yang terbaik buat kamu. Kamu aja yang mungkin terlalu menaruh serius terhadap hal tesebut. Kamu juga yang menciptakan ilusi bahwa kamu akan gagal, bahwa kamu akan mengecewakan dan membuat malu mereka. Itu semua cuma sugesti kamu karena kamu terlalu khawatir dengan semua hal, Ra,” jelas Elena dengan begitu lembut hingga membuatku terpaku lagi untuk beberapa saat. Semua yang dikatannya barusan memang benar adanya. Dan aku baru menyadarinya sekarang.
“Makasih ya, El, kamu buat aku sadar akan banyak hal,” ucapku dengan tulus sambil memeluknya.
“Aduh, sama-sama Sierra. Kamu pakai acara peluk segala. Kan aku jadi terharu,” katanya dengan sedikit tertawa seraya membalas pelukanku erat.
“Ah, masih aja bercanda di saat kayak gini,” jawabku bersamaan dengan melepas pelukanku.
“Hehe, biar kamu nggak sedih lagi, Ra. Setiap kamu sedang dalam masalah, inget satu mantra ini ya, dan ucapin dalam hati kamu, Hakuna Matata,” katanya dengan sedikit berbisik di telingaku.
“Hakuna Matata?” tanyaku dengan mengulang perkataannya.
“Iya, artinya jangan khawatir. Itu kan ada di film The King Lion, Ra,” tambahnya diikuti cekikikannya lagi.
“Oh pantes pernah denger, kamu kebanyakan nonton film kartun sih makanya hafal banget sama kata-kata itu,” ujarku juga diiringi dengan suara tawa.
“Atau mungkin diganti dengan kata mujarab All izz well?” usul Elena tiba-tiba.
“Tambah ngawur kamu, El. Itu sih kamu kebanyakan nonton film india,” sahutku seraya mengapit tangannya dan mengajaknya kembali meneruskan berjalan ke sekolah.
“Tapi bagus, kan?” jawab Elena lagi masih tak mau mengalah. Ia juga mengapit tanganku dan kemudian berjalan bersama di sampingku.
Kami pun berjalan lagi menuju sekolah. Menguatkan hati masing-masing untuk menerima apapun yang terjadi, apapun yang sudah ditakdirkan oleh Sang Empunya Hidup. Aku sudah tidak terlalu ragu lagi mengenai hal-hal yang hanya ada di dalam pikiranku sendiri. Meskipun mungkin masih terbesit sedikit ketakutan dan kekhawatiran dalam hati kecilku, namun bukankah itu juga hal yang wajar dirasakan oleh setiap manusia? Hanya bergantung bagaimana kita menyikapinya. Mengkhawatirkan hal yang sudah pasti dan membuat kita kehilangan ketenangan adalah kesalahan berganda. Maka dari itu, aku mulai melangkahkan kaki dengan beberapa keyakinan yang tertumpuk. Setidaknya sampai nanti tiba waktunya ketika aku melihat hasil ujianku.

1 komentar:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
    dengan minimal deposit hanya 20.000
    add Whatshapp : +85515373217 ^_~

    BalasHapus

Komentar yang baik ya