Tari Tiban merupakan tari rakyat yang sudah mengakar dan berkembang dimasyarakat Tulungagung pada umumnya. Tarian ini dipergelarkan pada saat musim kemarau panjang, karena pada dasarnya tarian ini merupakan sarana untuk minta hujan. Pada saat yang telah ditentukan, mereka berkumpul disuatu tempat, mereka dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing dipimpin oleh 1 orang yang bertindak sebagai wasit permainan yang disebut landang/plandang. Dengan iringan musik tradisi yang terdiri dari : kendang 1 buah, kentongan 1 buah dan gambang laras slendro 1 buah, satu persatu memasuki arena, mereka mulai mengadu ketrampilan bahkan kesaktian. Sambil menari-nari dengan gaya khasnya, dalam waktu yang ditentukan penari silang menyambuk dengan hitungan yang sama. Adapun caambuk yang digunakan terbuat dari Lidi pohon enau/aren yang lazim disebut ujung.
Permainan terus berlanjut sampai sore hari, bagi yang merasa kalah akan digantikan oleh anggota kelompok berikutnya, dan pada akhirnya pertunjukan apabila Tuhan berkenan pasti akan turun hujan seperti yang diharapkan. Tari Tiban jarang sekali dipergelarkan dirumah penduduk yang sedang hajatan, hanya dipergelarkan dalam acara yang bersifat umum saja. Ada makna-makna yang bersembunyi di sini. Bagi otak modern saat ini, tak ada artinya Tari Tiban, malah terlihat seperti adu kekerasan. Jelas, nenek moyang kita tidak sebodoh dan sejahat manusia modern sekarang, buktinya, mereka tidak menggunduli hutan, tidak bunuh-bunuh dengan plastik. Rasakan lah nilainya. Kebenaran data tak sepenting maknanya.
Makna. Ya, makna dari tarian. Makna dari pecut lucut cambuk sesama, bukan pecutnya, bukan pula lucutnya, tapi nadanya, nada-nada purba, pesan-pesan purba. Sportifitas, habis pulang lupa dendam, tak ada lawan, semua kawan. Kawan berkawan dengan ruh-ruh kakek nenek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang baik ya