1.
Argumen
Pembohong lebih sulit
menceritakan hal-hal mendetil dalam argumennya. Seperti deskripsi orang,
tempat, tindakan peristiwa, dan waktu kejadian. Dia lebih mendeskiripsikan
sesuatu secara umum dengan mengabaikan hal-hal yang sifatnya mendetil. Ini dikarenakan,
si pembohong lebih sadar dalam berargumen. Dia akan mengontrol setiap
argumennya untuk mengantisipasi kesalahan yang mungkin akan timbul dari argumen
yang keluar. Sehingga, untuk menjelaskan detil sesuatu, pembohong lebih
berhati-hati dan akan mulai bertanya kepada diri sendiri, “apakah benar yang
aku ucapkan?”.
Selain melihat seberapa
rinci argumennya, pembohong juga sering melakukan pengulangan kata atau
kalimat. Lihat pula bagaimana konsistensi dan koherensi tiap argumen. Pembohong
akan lebih sulit dalam berargumen secara konologis, menggunakan logika berpikir
yang runtut.
2. Ekspresi Wajah
Pandangan Freud ini,
mendasari Paul Ekman dalam mengonsepsi teorinya tentang mikro-ekspresi. Ketika
seseorang sedang berbohong, ada beberapa jenis reaksi muncul pada wajah yang
menandakan kebohongan seseorang. Oleh karena pembohong menahan kebenarannya,
reaksi lain muncul dalam bentuk mikro-ekspresi. Ekspresi yang sangat singkat,
dan kurang jelas terlihat.
Ekpresi kebohongan ini,
disebutkan oleh DePaulo (2003) dalam beberapa bentuk. Diantaranya ialah saat
seseorang mengangkat dagunya, atau menekan bibirnya ke dalam, tanda bahwa
dirinya sedang menahan sesuatu. Bisa juga dengan memperhatikan pupil mata yang
akan melebar saat seseorang sedang berbohong. Untuk yang terakhir ini, didasari
oleh pandangan Zuckerman yang mengatakan gairah muncul ketika berbohong.
3. Gerak tubuh
Meski Ekman telah merumuskan teori mikro-ekspresi, di tahun sebelumnya (1969)
dia bersama rekannya, Friesen, telah memiliki hipotesis bahwa tubuh memiliki
lebih banyak isyarat daripada wajah. Hipotesis ini dibuktikan kembali oleh Bond
dan DePaulo (2006), dengan media video. Mereka menyediakan tiga jenis video
yang menampilkan wajah saja, tubuh saja, serta keduanya. Dari penelitian
tersebut, isyarat kebohongan lebih banyak didapat dari video nomor dua dan tiga
(tubuh saja dan keduanya) daripada nomor satu (wajah saja).
Dengan demikian,
hipotesis Ekman dan Friesen teruji, tubuh memiliki isyarat kebohongan yang
lebih banyak. Ini dapat dilihat saat seseorang berbohong, dia merasa tidak
nyaman dengan duduknya, sering berubah posisi duduk, menggerakan tangan dan
jari-jarinya, menggoyang-goyangkan kaki, dan lain-lain. Ketidaknyamanan ini
adalah tanda kecemasan, perasaan takut bila nantinya dia akan ketahuan sedang
berbohong.
4. Respon/Tanggapan
Untuk mendeteksi kebohongan lawan bicara kamu, bisa juga kamu lihat dari
spontanitas lawan bicara dalam menanggapi pertanyaan atau argumen yang kamu
berikan. Orang yang mengatakan kebenaran, akan merespon lebih spontan daripada
yang berbohong. Karena, orang jujur memiliki dasar lebih jelas dibandingkan
dengan orang bohong. Orang bohong, perlu memroses otaknya lebih keras (artinya
membutuhkan waktu lebih lama) untuk menciptakan sebuah argumen demi
kesuksesannya dalam berbohong (membuat lawan bicara percaya).
5. Merasa Tegang
Lagi-lagi, pembohong tidak akan luput dari perasaan berbohong. Cemas dan takut
ketahuan, nantinya akan membuat seseorang merasakan ketegangan. Ketika
ketegangan meningkat, dampak yang akan ditimbulkan dari ketegangan seseorang
yang sedang berbohong, bisa berupa intonasi dan frekuensi suara meningkat. Bisa
juga, akibat ketegangan tersebut, seseorang yang sedang berbohong mengurangi
kontak mata dengan lawan bicaranya.
Perlu digarisbawahi,
Ekman , De Paulo , Frank , Mann , O’Sullivan , Vrij berkata tidak ada perilaku
tunggal indikasi penipuan. Artinya, setiap perilaku tidak dapat berdiri sendiri
tanpa dibarengi dengan perilaku lain. Misal, lawan bicara kamu berulang kali
mengubah posisi duduknya, bukan berarti dia sedang berbohong. Bisa jadi
ketidaknyamanannya didasari oleh faktor eksternal, misal tempat, pengawasan
orang lain, keintiman dengan lawan bicara, dan sebagainya.
Oleh karena itu, ketika
kamu melihat ada seseorang yang menunjukan satu isyarat kebohongan, bukan
berarti orang tersebut sedang berbohong. Perlu analisis lebih lanjut dengan
mengasosiasikan satu isyarat dengan isyarat lain, demi mendapatkan hasil yang
lebih akurat.
Akhirnya, untuk
mengetahui apakah seseorang berbohong atau tidak, dibutuhkan kemampuan yang
lebih. Kamu harus benar-benar memutar otak untuk merinci
pertimbangan-pertimbangan yang dapat memengaruhi akurasi penilaian kamu
terhadap kebohongan orang lain. Memang sulit, tapi bukan tidak mungkin. Pada
artikel selanjutnya penulis akan jelaskan bagaimana cara untuk meningkatkan
kemampuan ini
Sumber yang dipakai:
Bond, C. F., & DePaulo, B. M. (2006). Accuracy of Deception Judgement. Personality and Social Psychology Review , 10, 214-234.
DePaulo, B. M., Malone, B. E., Lindsay, J. J., Muhlenbruck, L., Charlton, K., & Cooper, H. (2003). Cues to Deception. Psychological Bulletin , 129, 74-118.
Navaro, J. (2012, Maret 15). The Truth About Lie Detection. Dipetik Desember 31, 2013, dari Psychology Today: http://www.psychologytoday.com/blog/spycatcher/201203/the-truth-about-lie-detection
Bond, C. F., & DePaulo, B. M. (2006). Accuracy of Deception Judgement. Personality and Social Psychology Review , 10, 214-234.
DePaulo, B. M., Malone, B. E., Lindsay, J. J., Muhlenbruck, L., Charlton, K., & Cooper, H. (2003). Cues to Deception. Psychological Bulletin , 129, 74-118.
Navaro, J. (2012, Maret 15). The Truth About Lie Detection. Dipetik Desember 31, 2013, dari Psychology Today: http://www.psychologytoday.com/blog/spycatcher/201203/the-truth-about-lie-detection
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang baik ya